Bismillahirrahmanirrahim
Assalammualaikum
Warahmatullahi Wabbarakatuh.
Salam
Semangat !!!
Salam
Anti Napza !
Hidup
Perempuan Indonesia !
"Tahukah engkau
semboyanku? 'Aku mau!' Dua patah kata yang ringkas itu sudah beberapa kali
mendukung dan membawa aku melintasi gunung keberatan dan kesusahan. Kata 'Aku
tiada dapat!' melenyapkan rasa berani. Kalimat 'Aku mau!' membuat kita mudah
mendaki puncak gunung."
Perkenalkan, penulis merupakan salah dua
dari milyaran perempuan Indonesia yang hidup pada masa globalisasi ini. Pada
Hari Kartini, atau Hari Emansipasi wanita, penulis ingin menuliskan sedikit
opini yang bersumber dari banyak keresahan yang kami alami selama ini.
Opini ini dibuat atas dasar insiprasi dan
aspirasi yang datang saat insomnia melanda beserta panggilan hati keprihatinan
terhadap penyalahgunaan emansipasi oleh para perempuan masa kini. Opini inipun
dibuat guna memperingati Hari Emansipasi Wanita yang jatuh pada tanggal 21
April di setiap tahunnya. Opini ini bertemakan "Perempuan Masa Kini."
yang didalamnya berisikan 3 subtema khusus tentang :
Part
1 : Sejarah Perempuan
Part
2 : Samakah emansipasi, kesetaraan gender dan feminisme ?
Part
3 : Urgensi emansipasi wanita yang tepat untuk era milenial kini.
Penulis menyadari bahwa di dalam tulisan
ini banyak mengandung kekurangan dalam bentuk penulisan, penyampaian maupun
apapun yang kurang tepat. Penulispun masih dalam tahap proses belajar, jadi
harapannya para pembaca dapat memaklumi banyak kesalahan yang terdapat, dan
apabila pembaca memiliki saran masukan serta kritikan, penulis dengan senang
hati akan menerimanya.
Terimakasih
atas perhatian nya.
Billahi
fii sabililhaq, Fastabiqul khoerot
Wasalammualaikum
warahmatullahi wabbarakatu
Demak - Purbalingga, 20 April 2020
( Anggun Cahyati - Muthia Hasanah )
" PEREMPUAN MASA KINI"
[ Part I ] Sejarah Perempuan
Berbicara tentang sejarah
yang merupakan peradabannya suatu bangsa dimana kelak bangsa tersebut akan
berpacu bergerak. Bak layar kapal yang mengikuti peran tangan nahkoda atas
petunjuk kompas agar tak tersesat di tujuan per-labuhan. Ada catatan-catatan
atas intrepretasi suatu kejadian di masa dahulu, yang terkadang hal itu akan
berdampak pada pembelajaran di masa mendatang.
Dalam memperingati perjuangan besar yang
tlah dilakukan Raden Ajeng Kartini terhadap emansipasi perempuan di Indonesia
ini, sudah sepantasnya kita sebagai perempuan paham akan sejarah perempuan itu
sendiri. Hal ini ditujukan untuk mengaplikasikan dan memahami tentang urgensi
emansipasi seperti apakah yang patut kita laksanakan di massa globalisasi (
milenial ) seperti ini ?
Sebelum jauh membicarakan perempuan terlalu
dalam, hal yang pertama akan kita bahas adalah "Sebenernya apa sih
perempuan itu" ?
Perempuan secara etimologi berasal dari
kata "empu" yang berarti “tuan”, yaitu orang yang.mahir/berkuasa’,
atau pun ‘kepala’, ‘hulu’, atau ‘yang paling besar’. Kata perempuan juga
berhubungan dengan kata ampu ‘sokong’, ‘memerintah’, ‘penyangga’, ‘penjaga
keselamatan’, bahkan ‘wali’; kata mengampu artinya ‘menahan agar tak jatuh’
atau ‘menyokong agar tidak runtuh’; kata mengampukan berarti ‘memerintah
(negeri)’; ada lagi pengampu ‘penahan, penyangga, penyelamat’. (Sudarwati &
Jupriono, 1997) Namun dalam buku yang
dikarang Dr. Hj. Zaitunah Subhan, perempuan berasal dari kata "empu"
yang artinya "dihargai". Zaitunah juga menjelaskan pergeseran dari
istilah wanita ke perempuan. Kata wanita berasal dari Bahasa Sanskerta dengan
dasar “wan” yang berarti nafsu, sehingga kata wanita dianggap mempunyai arti
dinafsui atau merupakan suatu objek seks. Jadi secara simbolik mengubah
penggunaan kata wanita ke perempuan adalah megubah objek jadi subjek. Tetapi
dalam bahasa Inggris wan ditulis dengan kata want, atau men dalam bahasa
Belanda, wun dan schen dalam bahasa Jerman. Kata tersebut mempunyai arti like,
wish, desire, aim. kata want dalam bahasa Inggris bentuk lampaunya wanted.
Jadi, wanita adalah who is being wanted (seseorang yang dibutuhkan) yaitu
seseorang yang diingini.( Al-quran dan perempuan )
Dikutip Dari The Republic (360 SM). Pada
buku V, Plato menyebutkan bahwa “They differ only in their comparative strength
or weakness”, mereka (laki-laki dan perempuan) hanya berbeda dari kekuatan dan
kelemahannya. Jadi menurut Plato, laki-laki dianggap memiliki kekuatan dan
perempuan cenderung dianggap lemah,
hanya itu saja perbedaanya, tapi tetap ia mengungkapkan bahwa perempuan
mampu untuk berpartisipasi sepenuhnya sebagai warga negara. Disini, Plato
sedikit memberikan tempat bagi perempuan, dengan menyatakan bahwa perempuan
memiliki jiwa laki-laki yang rendah dan pengecut. Kendati memposisikan
perempuan rendah, namun ia masih menyisakan tempat bagi perempuan, untuk
menembus kesejatian laki-laki. Hal ini Menguatkan teori nature dalam kelemahan
perempuan yang bahkan didukung oleh Aristoteles dengan anggapan adanya
ketidaksetaraan di antara manusia sebagai sesuatu yang alami dan bahwa yang
kuat harus mendominasi yang lemah. Lebih jauh lagi, Aristoteles juga mengajukan
penolakan kewarganegaraan perempuan dalam negara kota, yang pada saat itu sudah
mulai berkembang.
Sementara Kartini Kartono mengatakan, bahwa
perbedaan psikologis yang alami sejak lahir pada umumnya, kemudian diperkuat
oleh struktur kebudayaan yang ada, khususnya oleh adat istiadat, sistem sosial
ekonomi, dan pengaruh pendidikan.
Sebetulnya dengan adanya perkembangan
zaman, kedudukan laki-laki maupun perempuan dalam sejarah adalah sama penting.
Sayangnya selama ini penulisan sejarah hanya terfokus pada sejarah laki-laki
sehingga ketersediaan data tentang sejarah perempuan sangat minim. Mengapa
sedikit sekali peran perempuan dalam sejarah ? Karena sejarah ditulis oleh yang
menang. Bagaimana kita bisa menjadi pemenang jika kita tidak mengikuti
permainanya? Karena perempuan yang diposisikan sebagai objek tidak bisa menjadi
subyek dan kami tidak dilibatkan dalam membuat keputusan yang dapat mengubah
sejarah. Jika tidak ada sejarah yang dibuat, apa yang harus ditulis? Apa yang
akan diketahui dimasa mendatang? Jelas saja, perempuan sedikit peranya dalam
sejarah, karena perempuan tak memberikan pengaruh pada jalannya peristiwa
kehidupan. Padahal penulisan
sejarah perempuan tak hanya berfungsi untuk melihat cerita perempuan baik
kesehariannya tetapi juga kontribusinya dalam pembentukkan konsep kebangsaan
dan perjuangan kemerdekaan dalam konteks yang lebih luas. Maka dari itu secara eksitensial setiap
manusia mempunyai harkat dan martabat yang sama, sehingga secara asasi semua
gender ( feminine dan maskulinitas ) berhak untuk dihormati dan diberlakukan
secara harkat dan martabatnya.
Mengerucutkan hal jika kita meneropong
realitas sosial di Indonesia, kita fokuskan pada kehidupan perempuan
didalamnya, niscaya yang akan kita temukan adalah "keprihatinan".
Kenapa ? Karena poros adanya kaum perempuan seperti tidak menguntungan, dulu
memang merugikan namun sekarang kias-kias semacam tidak berpengaruh semacam
Simbiosis Komensalisme. Memang pada realitas sosial yang tidak menguntungan
pada kaum perempuan tersebut kita kaitkan dengan satu dominan tentang Budaya
Patriaki yaitu Konsepsi Dkhotomi.
Hal ini merupakan salah satu diantara alasan
mengapa Kaum Perempuan perlu memperjuangkan emansipasi atas kesetaraan gender
yang sudah diperjuangkan secara keras oleh banyak pahlawan dahulu yang salah
satunya adalah Raden Ajeng Kartini melalui Bukunya " Habis Gelap Terbitlah
Terang."
Pertanyaan yang kemudian muncul setelah
terpantiknya sejarah kelam atas perempuan dan perjuangan - perjuangan atas
emansipasi, adalah "apakah emansipasi itu ?" Lalu apakah sama
pengertian emansipasi dengan kesetaraan gender ? Apakah emansipasi selaras
dengan aliran feminisme ? Mari kita kupas perlahan.
[ Part II ]
Samakah Emansipasi, Kesetaraan gender dan Feminisme
Emansipasi artinya memberikan hak yang
sepantasnya diberikan kepada orang atau sekumpulan orang di mana hak tersebut
sebelumnya dirampas atau diabaikan dari mereka. Istilah Emansipasi Wanita pada
prinsipnya memberikan seluruh hak dasar manusia (Human Rights) kepada Wanita,
misalnya hak berbicara, hak hidup, hak belajar dan lain sebagainya.
Sesungguhnya emansipasi yang sebenarnya adalah bentuk pemberian hak kepada
wanita untuk mengembangkan diri dan kemahiran profesional agar bisa bergandeng
bahu dengan lelaki dalam pembangunan negara. Tidak ada maksud negatif yang
tersembunyi di balik gerakan emansipasi. Jikapun ada, itu kembali ke niat orang
atau kumpulan yang memperjuangkannya dan latar belakang yang memotivasinya.
Lalu Gender adalah pembedaan peran, atribut,
sifat, sikap dan perilaku yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Dan
peran gender terbagi menjadi peran produktif, peran reproduksi serta peran
sosial kemasyarakatan. Sedangkan kesetaraan gender adalah suatu keadaan setara
dimana antara pria dan wanita dalam hak ( hukum ) dan kondisi ( kualitas hidup
) adalah sama.
Kesetaraan gender dengan emansipasi adalah
2 hal yang berbeda arti. Kesetaraan gender adalah persamaan kodrat atau
persamaan gender dari wanita dan laki-laki. Jika kita lihat dari fisik, seorang
wanita dan laki-laki jelas sangat berbeda. Secara psikologis menyebutkan adanya
perbedaan antara wanita yang 90% menggunakan perasaan dan sisanya adalah logika
dan sangat berbanding terbalik dengan laki-laki yang 90% menggunakan logika dan
sisanya adalah perasaan.
Sedangkan Emansipasi merupakan tindak
lanjut dari gagasan kesetaraan gender dalam bentuk tindakan nyata seorang
wanita dalam kehidupannya. Alangkah lebih bijaksananya jika kita mengartikan
dan memaknai emansipasi wanita sebagai salah satu bentuk kerjasama antara
laki-laki dan wanita dalam menjalankan kehidupan. Sebagai seorang partner,
tentu saja mempunyai kedudukan sama tinggi dan mempunyai hak yang sama tanpa
adanya perbedaan yang memandang keduanya
Jika sudah ada gambaran tentang emansipasi
dan kesetaraan gender, pembahasan berikutnya apakah emansipasi bisa diartikan
sama dengan feminimisme ?
Secara etimologis kata Feminisme berasal
dari Bahasa Latin, yaitu femina yang dalam Bahasa Inggris diterjemahkan menjadi
feminine, artinya memiliki sifat-sifat sebagai perempuan. Kemudian kata itu
ditambah “ism” menjadi feminism, yang berarti hal ihwal tentang perempuan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Feminisme diartikan sebagai gerakan
wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria. Lalu
apakah Feminisme dan Emansipasi sama
Jelas Feminisme dan Emansipasi berbeda.
Dalam artian ringkasan singkatnya Feminisme tidak ingin lebih rendah dari pada
laki-laki, ia istimewa melebihi laki-laki, ia mampu berbuat apapun semuanya
tanpa perduli kodrat dan fungsi perempuan diciptakan. Namun untuk Emansipasi,
mereka hanya menggaungkan sebatas persamaan hak, kita memang tidak ingin
dipandang rendah oleh laki-laki tapi kita sadar kita juga tidak bisa lebih tinggi
dari laki-laki itu sendiri. Dan jika kita tarik ulur refleksi yang terjadi di
Indonesia sendiri adalah Emansipasi yang Raden Ajeng Kartini gaungkan adalah
Hak berpendidikan yang sama bagi perempuan, tapi jika Raden Ajenh Kartini
menggaungkan Feminimisme maka ia akan menuntut pula cara ia diperlakukan atas
pingitan, atas upacara pernikahan, atas segala hal yang intinya harus melebihi
dari pada laki-laki.
Itulah beberapa
gambaran tentang emansipasi, kesetaraan gender, dan feminisme yang ternyata
memiliki arti yang berbeda-beda.
[ Part III ] Urgensi
emansipasi perempuan yang tepat untuk era milenial kini.
Hari Kartini atau Hari Emansipasi wanita
yang rutin diperingati setiap tanggal 21 April per tahun-nya, menyisahkan
sejarah Indah perjuangan dari Pahlawan Puteri ya itu Raden Ajeng Kartini yang
memperjuangkan dan membawa perubahan besar khususnya bagi Kamu Perempuan di
Indonesia tentang hak pendidikan yang setara dengan Kaum laki-laki.
Dulu, pada masa Kehidupan Raden Ajeng
Kartini, perjuangan menegakkan emansipasi wanita sangat gencar dilakukan
Kartini muda. Ia tidak gentar memperjuangkan hak kaum perempuan agar setara
dengan kaum laki-laki. Ketika itu, kaum perempuan Indonesia selalu di bawah
ketiak laki-laki. Bahkan, perempuan Indonesia juga dilarang bersekolah, hanya
laki-lakilah yang boleh menuntut ilmu. History pada zaman penjahahan itu, yang
berhak mendapat pendidikan ialah anak dari keturunan bangsawan, sehingga banyak
wanita Indonesia pada masa lalu tidak mendapatkan pendidikan sama-sekali.
Kemudian emansipasi yang dimaksudkan oleh R.A Kartini agar wanita diakui
kecerdasannya dan diberikan kesempatan yang sama untuk mrngaplikasikan keilmuan
yang dimilikinya, sehingga wanita tidak merendahkan diri dan tidak selalu di
rendahkan derajatnya oleh kaum pria.
Namun, di kondisi masa kini kita semua bisa
yakini bahwa cita-cita mulia tersebut sudahlah tercapaikan bahkan mungkin
lebih. Banyak perempuan di Indonesia yang mengenyampendidikan bahkan sampai
jenjang tinggi, banyak perempuan di Indonesia yang sudah menjadi politisi,
banyak perempuan Indonesia yang dapat meraih mimpinya bahkan sejajar dengan laki-laki,
banyak hal yang dapat perempuan lakukan atas dasar emansipasi ini.
Kondisi perempuan masa kini sangatlah jauh
berbeda dengan kondisi perempuan pada masa lalu, sekarang perempuan telah
merasakan kebebasan atas hak-hak yang diperjuangkan pada masa lalu. Namun
dampak dari era milenial, emansipasi ini dijadikan kedok kebebasan yang
sebebas-bebasnya oleh kaum wanita yang sangat miris dilakukan pada zaman ini.
Contohnya sebagian kaum perempuan dengan kebebasannya dapat memperdagangkan
diri dalam balutan gaun seksi, ada juga perempuan dengan kecantikannya
terhubung dalam jaringan gelap prostitusi, ada pula perempuan yang ingin
menyamai laki-laki, ada banyak perempuan yang dengan bangga menjadi pelacur
serta hal tersebut bukan menjadi hal yang tabu untuk rahasia umum sendiri.
Dengan demikian bisa dikatakan bahwa kebebasan tersebut malah menghancurkan
derajat para perempuan dan emansipasi sendiri kehilangan maknanya. Apakah
disini harus ada tinjauan balik tentang emansipasi yang disalah kaprahi ?
Salah satu faktor kenapa kita harus
mempertanyakan urgensi emansipasi di massa kini adalah, terlalu overloadnya,
dan terlalu semena-menanya maka berakibat terjadilah bebas yang bablas dan
mengakibatkan penyimpangan itu sendiri. Jika emansipasi yang berlebihan ini
sudah terjadi, lalu apakah berarti nilai urgensitas emansipasi di massa
sekarang sudah tak diperlukan ?
Jelas, nilai emansipasi perlu kita
lestarikan dan kita jaga keberadaanya. Tapi kitapun harus pandai memfilter apa
saja yang perlu kita lakukan dan apa saja yang memang tak pantas kita lakukan
mengenai emansipasi itu sendiri. Dengan gaya hidup perempuan ii era globalisasi
seperti ini, sebagian besar perempuan tidak memahami peran dan posisinya dalam
masyarakat, ada juga yang lupa akan sejarah perjuangan kaumnya sendiri, ada
pula yang hidup dengan kebebasan yang seluas-luasnya. Tak jarang mereka juga
melupakan aturan-aturan dalam masyarakat.
Padahal semakin majunya suatu peradaban,
sama seperti di era globalisasi ini peran wanita tidak hanya dibebankan dalam
keluarga untuk melayani suami dan anak, namun bebas untuk berkiprah dalam
kancah publik maupun domestik dengan tetap memperhatikan tugasnya dalam
keluarga. Dengan kata lain bahwa wanita masa kini dapat berkontribusi dalam
segala bidang kehidupan masyarakat tanpa ada diskriminasi pembagian kerja.
Dalam pasal 65 ayat 1 Undang- Undang nomor 12 tahun 2003 mengenai keterwakilan
sekurang- kurangnya 30% wanita dalam politik merupakan bentuk nyata untuk
perempuan berperan dalam ranah politik.
Pun sebenernya emansipasi di era digital
ini dapat dijadikan angin segar dalam mengembangkan bakat diri. Perempuan dapat
berekspresi dengan tidal hanya sibuk dirumah saja tapi turut andil dalam
kemajuan bangsa di berbagai sektor industrial. Banyak wanita yang kreatif dan
imajinatif dalam memanfaatkan bidang tekhnologi, marketing, sosial dan banyak
lainnya. Namun dengan adanya kebebasan ini, diharapkan perempuan juga sadar
diri, meski globalisasi tak ada tepi, dunia digital tak punya batas, perempuan
harus memiliki dan memegang teguh pedoman nilai-nilai norma etika, adat, agama
dan budaya agar bebasnya tak menjadi bablas.
Pada era globalisasi ini, perempuan dituntut untuk berwawasan luas dan
memiliki mental tangguh. Hal ini selaras dengan perjuangan kartini pada masa
lalu, diharapkan di masa pendatang para perempuan Indonesia dapat melahirkan
generasi-generasi yang kuat karena kelak dirinya akan menjadi tombak dalam
pendidikan keluarganya, lalu mental tangguhnya akan membawa ia menjadi generasi
penerus yang semakin kuat dalam menegakkan suatu kebenaran. Dengan
Berpendidikan tinggi, perempuan diharap tidak hanya mengejar suatu karir semata
namun gagasan-gagasan serta ilmu yang tlah diperoleh di jenjang pendidikannya
dapat ia implementasikan menjadi suatu karya pencetak sejarah Indah bagi kaum
perempuan.
Karena Kaum
perempuan di era milenial harus lebih cerdas, kreatif , beretika dan progresif.
"
Perempuan merupakan simbol kesucian dan kecerdasan. Jangan sampai hal tersebut
dapat direnggut dan dirobohkan oleh suatu peradaban. Perempuan harus Ber
pendidikan, bukan karena semata-mata karir dan mimpinya tapi tentang
implementasi cerdas dan Etika baiknya sesuai fitrah kodratnya. "
Editor :
Part I : Anggun
Cahyati - Muthia Hasanah
Part II - III :
Muthia Hasanah